Pengalaman Melahirkan Caesar

Harum di taman bunga
10 min readFeb 25, 2021

--

“Bagaimanapun cara persalinan yang dilakukan, seorang perempuan tetaplah berjuang dengan sangat keras untuk melahirkan bayinya. Mereka yang menganggap operasi caesar itu mudah, ya karena mereka mungkin tidak merasakan bagaimana berjuangnya seseorang melawan ketakutan di ruang operasi”

Prolog

Bagi seorang perempuan, hamil dan melahirkan adalah sesuatu yang tidak akan pernah terlupakan dalam hidup. Saat hamil, seorang perempuan akan bersama dengan janin dalam kandungannya selama kurang lebih 9 bulan. Banyak juga perubahan-perubahan yang terjadi selama perempuan hamil. Mulai dari perubahan fisik maupun psikologis. Seperti perut yang semakin membesar seiring bertambahnya usia kehamilan, pipi yang lebih chubby, lengan membesar, kaki bengkak, bagian payudara yang semakin besar dan berat, perubahan hormon dalam tubuh, dan sebagainya.

Adanya berbagai perubahan fisik kemudian berdampak pada perubahan psikologis seorang perempuan yang hamil. Misalnya, dengan adanya perubahan hormon, perempuan hamil menjadi cenderung lebih emosional: gampang sedih, gampang nangis, tiba-tiba benci sama seseorang atau sesuatu, menginginkan makan sesuatu secara tiba-tiba, dan sebagainya. Di tambah lagi dengan adanya rutinitas yang harus dilakukan selama hamil yang mungkin tidak akan dilakukan jika tidak sedang hamil. Yaitu rutin memeriksa kehamilan sebulan sekali ke dokter, rajin mencari tahu seputar kehamilan dengan membaca artikel atau menonton video, senam hamil, jalan-jalan pagi, lebih banyak mengkonsumsi buah dan sayur, dan lain-lain. Hal ini menambah rentetan daftar perubahan-perubahan yang terjadi selama kehamilan.

Setelah melalui kehamilan selama kurang lebih 9 bulan, seorang perempuan akan dihadapkan dengan proses persalinan. Ini menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu, membahagiakan, sekaligus menegangkan bagi semuanya. Mulai dari ibu hamil itu sendiri, suaminya, keluarganya, teman-temannya, dan pihak lainnya yang terlibat. Ada yang melahirkan secara normal, ada pula yang melahirkan dengan operasi caesar. Namun demikian, saya ingin menegaskan bahwa tidak ada perbedaan derajat antara perempuan yang melahirkan normal maupun yang dengan persalinan caesar. Keduanya sama-sama berjuang melahirkan janin yang ada dalam rahim dan itu adalah proses yang sangat tidak mudah !. Hanya konstruksi sosial yang mengatakan bahwa perempuan yang melahirkan dengan caesar itu belum menjadi ibu yang seutuhnya. Itu hanyalah anggapan bentukan masyarakat yang kurang berempati dan mungkin tidak upgrade pengetahuan. Oke, prolognya sampai sini saja ya. Sekarang akan saya lanjutkan dengan bercerita pengalaman saya sendiri.

Sebenarnya tujuan saya membuat tulisan ini adalah saya ingin membagi pengalaman diri sendiri setelah bulan Januari 2021 lalu saya melahirkan anak pertama di RS AMC Muhammadiyah Yogyakarta. Barangkali ada teman-teman dan Bunda-Bunda yang saat ini sedang mencari referensi tempat melahirkan, kesaksian saya sendiri mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk melakukan persalinan disana. Selengkapnya dapat membaca di https://fiyama-ulya.medium.com/berapa-biaya-persalinan-di-rs-amc-muhammadiyah-yogyakarta-9539e32cd3

Pada suatu senin pagi sehabis bangun tidur, suami menyodorkan testpack kepada saya dan meminta saya untuk mengecek urin. Hasilnya menunjukkan garis dua yang bisa diinterpretasikan bahwa saya hamil. Tetapi saya belum yakin jika bukan dokter yang langsung menyatakan. Tetapi dengan melihat garis dua tersebut, suami saya sangat yakin bahwa saya memang hamil. Beberapa saat kemudian, suami menghubungi salah satu dokter yang berpraktek di RS AMC Muhammadiyah Yogyakarta dan menyampaikan hasil testpack saya. Dokter tersebut menyarankan agar saya mendaftar untuk periksa bersama beliau 2 minggu lagi. Jadi, perjalanan saya sejak awal kehamilan memang dibersamai oleh RS tersebut sehingga membuat saya enggan berpindah tempat. Tujuannya adalah agar lebih efisien dan tidak berganti-ganti dokter. Kebetulan dokter tersebut adalah adik dari dosen sekaligus atasan suami saya di kampus. Ya mungkin karena unsur proximity inilah yang membuat saya menjadi nyaman.

Sampai usia kehamilan saya 37 minggu. Empat minggu sekali, dua minggu sekali, sampai satu minggu sekali menjelang hari perkiraan lahir (hpl) saya selalu periksa kehamilan di RS AMC Muhammadiyah Yogyakarta ini, dengan dokter yang sama. Dokter yang saya maksud adalah dr. Alfaina Wahyuni, Sp. OG., M. Kes. Saya melahirkan di usia kehamilan 38 minggu dengan persalinan caesar.

Saya yakin setiap ibu hamil pasti menginginkan persalinan normal yang mudah. Melalui proses pembukaan dengan cepat, ketuban belum pecah, bisa mengejan dengan tepat, tanpa ada robekan yang disengaja, dan tanpa ada kecemasan sebelum melahirkan. Iya, pasti setiap ibu hamil menginginkan kemudahan-kemudahan tersebut. Tetapi, pada kenyataannya kita akan mendapat banyak kejutan yang tidak terduga. Bisa jadi persalinan kita memang berjalan sangat mudah atas izin Allah SWT, dan bisa jadi juga kita harus menghadapi berbagai proses yang mungkin tidak kita bayangkan sebelumnya, juga atas kehendak Allah SWT.

Hemorrhoid

Ketika saya periksa di usia kehamilan 36 minggu, saya menyampaikan kepada dr. Alfaina terkait hemorrhoid atau wasir yang semakin membesar seiring dengan usia kehamilan yang semakin tua. Sebelumnya saya pernah menyampaikan ini kepada beliau dan ketika di cek, hemorrhoid berukuran kecil sehingga dokter optimis saya dapat melahirkan normal apabila kepala janin sudah memasuki panggul. Namun ternyata, di usia kehamilan 36 minggu itu hemorrhoid semakin besar. Dokter menyampaikan kepada saya dan suami bahwa kemungkinan besar saya harus melahirkan secara caesar karena hemorrhoid yang besar akan beresiko pecah jika mengejan terlalu kuat. Jika hemorrhoid pecah, maka saya akan mengalami pendarahan. Saya merasa sangat shocked mendengar saran dokter tersebut. Saya tertegun dan sempat terdiam beberapa saat sembari menatap dr. Alfaina. Saya sangat takut dengan ruangan operasi, jadi mana mungkin saya akan begitu saja bersedia menerima saran dokter untuk melahirkan dengan operasi ?!. Untuk menutupi ketakutan tersebut, saya berusaha optimis hemorrhoid dapat mengempes sehingga terbuka kemungkinan melahirkan normal. Saya pun berharap ada keajaiban yang datang. Saya berharap hemorrhoid tiba-tiba menghilang. Hahahaha!. Dokter kemudian memberi resep suppositoria dan akan kembali di cek saat saya periksa seminggu lagi.

Tetapi apa yang terjadi ?. Memasuki 37 minggu, saya kembali datang kepada dr. Alfaina, setelah dilakukan USG, beliau mengecek hemorrhoid saya dan ternyata tidak banyak perubahan. Saya pasrah jika memang harus melahirkan dengan cara caesar. Saya sudah menyiapkan diri dari rumah bahwa di hari tersebut dokter akan memutuskan bahwa saya memang harus bersalin secara caesar. Ya karena saya tahu bahwa hemorrhoid tersebut tidak mengempes. Jadi, siap tidak siap saya harus siap dan berani menghadapi apapun. Demi melihat anak saya, demi kebahagiaan suami dan keluarga besar. Saya percaya bahwa Allah SWT akan menjaga saya. Di hari itu juga saya, suami dan dr. Alfaina membuat jadwal operasi yang akan saya jalani yaitu di hari Jum’at tanggal 29 Januari 2021, pukul 09.00 Wib di RS AMC Muhammadiyah Yogyakarta.

Hari-hari menjelang tanggal 29 Januari 2021 jujur saja, saya lalui dengan perasaan yang sering cemas, takut, dan hanya sesekali saya merasakan bahagia akan segera melahirkan. Itu semua karena operasi dalam pikiran saya sangat menyeramkan. Saya takut sesuatu yang buruk akan terjadi ketika operasi. Bagaimana jika nyawa saya menghilang ?!. Saya menyampaikan perasaan itu kepada suami, dan dia memberi support bahwa semua akan baik-baik saja. Beberapa teman yang saya hubungi menyuruh saya untuk berfikir positif. Tidak perlu menonton video operasi caesar, tidak perlu membaca artikel yang menakutkan tentang operasi caesar dan tidak perlu mendengarkan cerita-cerita yang menyeramkan dari orang-orang yang pernah melakukan operasi yang sama. Intinya saya harus berfikir positif dan perbanyak berdo’a kepada Allah SWT. Mungkin ketakutan saya juga wajar, karena baru pertama kali akan mengalami melahirkan. Begitu kata mereka.

Hari yang dijadwalkan pun tiba. Saya merasa mulai kontraksi sejak pukul 12 malam. Tetapi saya tidak mengerti jika itu adalah kontraksi. Saya mengira apa yang saya rasakan (bagian pinggang sebelah kiri sangat pegal) adalah karena saya salah posisi tidur. Sehingga saya hanya mengatakan kepada suami bahwa pinggang saya sangat pegal mungkin karena salah tidur. Bangun tidur ba’da shubuh ternyata saya masih merasakan pegal di area yang sama. Saat itu pula ada air mengalir cukup deras dan tidak bisa ditahan. Saya mengira itu adalah pipis karena saking kebeletnya sehingga tidak bisa di tahan. Setelah saya amati ternyata itu adalah air ketuban. Saya kemudian sadar, bahwa ketuban saya sudah pecah dan pegal yang saya rasakan adalah kontraksi. Pagi itu saya semestinya bersiap untuk berangkat ke RS pukul 05.30 pagi. Pukul 06.00 pagi saya harus sudah sampai RS untuk bersiap operasi di jam 09.00 pagi. Namun, karena ketuban saya sudah pecah, saya dan suami segera bergegas lebih cepat untuk pergi ke RS.

Sesampainya di RS AMC Muhammadiyah Yogyakarta, saya langsung dipanggilkan bidan jaga dan suami menyampaikan bahwa ketuban saya sudah pecah. Segera saya di bawa ke ruang inap yang terletak di lantai 3. Karena saya melahirkan dalam situasi pandemi, saya sudah menjalani tes urin, tes darah hingga rapid tes 3 hari sebelumnya atau ketika saya menjalani konsultasi terakhir. Di ruang inap, perawat dengan sigap meminta saya untuk berganti baju rumah sakit. Infus mulai di pasang di tangan kiri saya. Bidan juga mengecek pembukaan dan membimbing saya untuk tarik nafas-buang nafas ketika kontraksi semakin kuat.

Sebenarnya saya kembali berharap ada keajaiban agar saya dapat melahirkan bukan dengan operasi. Saya mulai cemas, namun saya juga pasrah karena kontraksi yang saya rasakan. Dalam keadaan tersebut, bidan memberitahu saya dan suami bahwa operasi akan dimajukan menjadi pukul 08.00 pagi. Saya akan dipersiapkan untuk menghadapi operasi sembari menunggu dokter datang. Deg !..saya semakin cemas. Itu artinya saya akan menghadapi kengerian operasi (dalam pikiran saya) lebih cepat satu jam.

Saya kemudian di bawa ke ruang persiapan. Selama menunggu, kontraksi masih tetap saya rasakan. Suami menemani saya di samping bed sambil saya pegang tangannya ketika kontraksi kembali muncul. Apakah ini hal yang romantis ?..terserah bagaimana anda saja! :D.

Anestesi

Kecemasan kembali di mulai ketika dokter anestesi datang ke ruang persiapan untuk menjelaskan perihal anestesi yang akan saya jalani. Beliau mengatakan bahwa anestesi akan dilakukan separuh badan yaitu dari perut sampai ujung kaki. Suntikan anestesi akan dilakukan di bagian tulang belakang. Setelah itu, saya akan merasakan efek dari anestesi tersebut.

Menurut beliau, beberapa orang mengalami respon berbeda-beda setelah dilakukan anestesi. Ada yang merasakan gerakan-gerakan pembedahan namun tidak sakit, ada yang tidak merasakan adanya pembedahan, dan ada juga yang merasa seperti di tarik-tarik tetapi tidak merasa sakit. Anestesi akan membuat kaki tidak bisa digerakkan, sehingga tidak perlu kaget jika nantinya saya mencoba menggerakkan kaki ternyata tidak bisa. Setiap orang memiliki kepekaan yang berbeda-beda. Kurang lebih begitu yang saya tangkap.

Saya sendiri merasakan seperti ditarik-tarik namun tidak terasa sakit sama sekali. Saya merasa tubuh saya menghangat setelah anestesi bereaksi. Iya betul, tubuh saya menjadi hangat karena ruang operasi itu ternyata sangat dingin!. Saya bersyukur mendapat dokter anestesi yang bisa membuat saya tenang di tengah kecemasan yang mungkin terbaca oleh mata beliau. Saya ingat betul beliau mengatakan, “Ibu tenang saja, saya akan selalu berada di samping kepala Ibu saat operasi berlangsung. Ibu cukup ikuti arahan saya. Saya akan membimbing Ibu, bagaimana Ibu harus bernafas. Kalau saya mengatakan bernafas seperti biasa, Ibu ikuti arahan saya, pokoknya Ibu nanti ikuti saja kata-kata saya. Jadi, Ibu tidak sendirian. Ada saya yang akan selalu berada di samping kepala Ibu dan berbicara dengan Ibu.” Saya mulai tenang. Rasa-rasanya sekarang ini, saya ingin berterimakasih kepada beliau yang telah membuat saya merasa di-sayangi dan berhasil meradakan kecemasan saya. Sayangnya, saya lupa tidak menanyakan siapa nama dokter anestesi yang membersamai saya ketika operasi itu.

Operasi

Setelah selesai di ruang persiapan, saya dituntun oleh seorang perawat untuk memasuki ruang operasi. Saya pikir, masuk ke ruang operasi itu posisi saya tetap di ranjang. Ternyata saya dituntun dengan berjalan kaki. Memasuki ruangan, saya melihat tim medis mengenakan pakaian steril serba hijau, ranjang untuk membedah perut saya, berbagai alat bedah, dan lampu operasi yang bundar dan sangat terang itu. Saya juga mendengar suara yang cukup bising, serta suhu ruangan yang sangat dingin.

Saya kemudian diminta untuk duduk di ranjang operasi, kecemasan saya memuncak ketika saya melihat lampu bundar yang menyala sangat terang. Di tambah lagi, suami saya tak kunjung masuk ke ruang operasi karena harus berganti baju steril. Saya semakin cemas. Saya sangat takut meninggal saat operasi. Puncaknya, saya mengalami psikosomatis. Saya muntah-muntah. Dokter kandungan menduga jika muntah yang saya alami adalah karena maag. Ya apalagi kan saya juga sudah diminta berpuasa sejak jam 1 malam, sehingga dokter menduga saya memiliki maag. Namun, sebenarnya saya tidak memiliki maag. Menurut saya, apa yang saya alami adalah murni psikosomatis.

Setelah episode muntah-muntah selesai, dokter langsung melakukan tindakan anestesi. Saya sempat mengatakan bahwa saya merasa kedinginan sehingga saya butuh selimut. Namun, setelah anestesi bereaksi, saya merasakan tubuh perlahan menghangat. Tirai di tutup, sehingga saya tidak bisa melihat pembedahan yang dilakukan, hanya bisa merasakan tarikan-tarikan. Saya sempat batuk-batuk, dokter anestesi melarang saya untuk batuk. Saya harus menahan dengan hanya berdehem tipis. Setelah tirai di tutup, dokter meminta saya untuk berdo’a.

Saya pun kemudian bekali-kali mengatakan kepada dokter anestesi yang memang berdiri di samping kiri kepala saya. Sebagaimana janjinya untuk selalu menemani saya di samping kepala, bahwa saya merasa seperti kesemutan, kemudian saya merasa tarikan-tarikan namun tidak sakit, dan sebagainya. Beliau kembali menenangkan, “Iya sayang…seperti yang tadi saya bilang, terasa tapi tidak sakit ya…nggak apa-apa. Bernafas seperti biasa dan tetap berfikir positif ya. Nanti kalau Ibu tidak tenang, Ibu malah akan kita tidurkan.” Saya pun menuruti apa yang diarahkan oleh dokter. Kembali tenang dan bernafas seperti biasa. Saya merasa beruntung mendapat dokter anestesi seperti beliau. Berkali-kali saya gelisah tetapi berkali-kali pula dokter selalu menenangkan.

Dalam waktu yang cepat, dokter memberitahu saya bahwa bayi akan segera dikeluarkan. Saya akan merasakan perut di dorong. Saya tidak menyangka akan secepat itu proses membelah perut hingga mengeluarkan bayi. Namun, tidak dengan proses penjahitannya.

Saya merasa waktu penjahitannya cukup lama sehingga membuat saya merasa kembali tidak tenang. Tetapi sebenarnya suasana di dalam ruang operasi sangat santai. Sembari melakukan penjahitan, dokter-dokter membicarakan tentang penelitian yang dilakukan di kampus, tentang vaksin covid-19, dan sebagainya. Hal itu membuat persepsi saya kemudian berubah. “Berarti operasi ini sangat mudah untuk mereka. Operasi ini tidak mengerikan, sehingga saya tidak perlu takut.” Batin saya.

Proses operasi selesai, dr. Alfaina mengucapkan selamat atas kelahiran putra pertama saya dan suami. Saya juga merasa sangat bersyukur karena dipertemukan dengan dr. Alfaina. Beliau adalah pribadi yang hangat dan kompeten. Dari ruang operasi saya kemudian di pindahkan ke ruang transisi sebelum kembali ke ruang inap, dengan anestesi yang masih bereaksi di tubuh saya. Perawat memantau nafas, detak jantung, juga jahitan saya. Saya sempat bertanya kepada perawat tentang mengapa saya harus berada di ruang transisi dalam waktu yang lama yaitu 2 jam setelah selesai operasi. Saya pun dilarang untuk tidur meskipun saya merasa mengantuk. Hal tersebut dilakukan untuk memantau apakah terjadi pendarahan atau tidak dan merupakan waktu yang krusial. Setelah menunggu lama di ruang transisi, akhirnya saya dipindahkan ke ruang inap.

Dari pengalaman operasi caesar yang sudah saya lakukan, saya menarik kesimpulan bahwa bagaimanapun cara persalinan yang dilakukan, seorang perempuan tetaplah berjuang dengan sangat keras untuk melahirkan bayinya. Mereka yang menganggap operasi caesar itu mudah, ya karena mereka mungkin tidak merasakan bagaimana berjuangnya seseorang melawan ketakutan di ruang operasi.

Semoga pengalaman ini bermanfaat untuk teman-teman yang berkenan membaca :)

Yogyakarta, 25 Februari 2021

--

--

Responses (1)